TERASMEDIAJAMBI.COM, SAROLANGUN – Sarolangun sedang memasuki babak baru dalam birokrasi pemerintahan dengan munculnya beberapa nama yang digadang-gadang akan mengisi posisi Sekretaris Daerah (Sekda). Jabatan ini bukan sekadar posisi administratif, tetapi merupakan motor penggerak kebijakan daerah, pengelola anggaran, dan ujung tombak stabilitas birokrasi. Namun, di balik bursa calon ini, ada pertanyaan mendasar yang harus dijawab: Apakah para kandidat benar-benar memiliki kapasitas dan integritas, atau sekadar perpanjangan tangan kepentingan tertentu?
Peta Kandidat: Kompetisi atau Formalitas?
Beberapa nama yang mencuat dalam bursa Sekda Sarolangun antara lain:
1. Kurniawan, ST., ME. (Dinas Lingkungan Hidup)
Seorang birokrat teknokrat dengan latar belakang di bidang lingkungan hidup. Pengalamannya di sektor ini tentu relevan untuk isu-isu ekologis daerah, tetapi apakah ia memiliki wawasan luas dalam tata kelola pemerintahan yang lebih kompleks? Menjadi sekda bukan hanya soal administrasi teknis, tetapi juga kepemimpinan dan keberanian mengambil keputusan strategis.
2. Helmi, SH., MH. (Dinas Sosial)
Berkarir di dinas yang menangani isu sosial membuat Helmi lebih paham problematika kesejahteraan masyarakat. Namun, menjadi Sekda membutuhkan lebih dari sekadar pemahaman sosial—ada aspek pengelolaan keuangan, koordinasi lintas sektor, dan daya tawar politik yang tinggi. Apakah Helmi mampu berdiri di atas semua kepentingan tanpa terseret arus politik?
3. H. Waldi Bakri, S.IP., S.Sos., M.M. (Dinas Kepustakaan Daerah)
Dari sektor kepustakaan, Waldi Bakri adalah figur yang memiliki pengalaman dalam tata kelola arsip dan informasi. Namun, pertanyaannya adalah, apakah pengalaman ini cukup untuk mengelola birokrasi tingkat tertinggi? Atau apakah ada pertimbangan lain di balik namanya yang ikut bersaing dalam bursa ini?
4. Deddy (Pj Sekda Sarolangun Saat Ini)
Sebagai petahana, Deddy memiliki keuntungan dari segi pengalaman langsung dalam menjalankan tugas Sekda. Namun, jabatan Pj sering kali hanya bersifat sementara, dan keberlanjutannya sangat bergantung pada kepentingan politik yang mengitarinya. Jika Deddy tetap menjadi pilihan, maka pertanyaannya adalah, apakah ia benar-benar dipilih karena kompetensinya atau karena adanya kompromi di balik layar?
5. M. Hudri (Kepala Kesbangpol Sarolangun)
Berada di posisi strategis yang mengurusi stabilitas politik daerah, M. Hudri tentu memahami dinamika politik yang berperan dalam pemilihan Sekda. Namun, apakah itu berarti ia bisa menjadi Sekda yang netral dan profesional? Atau justru lebih condong menjadi alat kepentingan tertentu?
6. Sahrudin, SE, MM. (Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu)
Nama Sahrudin menjadi perhatian utama karena statusnya sebagai adik kandung Bupati Terpilih Sarolangun, H. Hurmin. Secara administratif, ia memang memiliki jabatan strategis di pemerintahan. Namun, apakah pencalonannya murni karena kapasitas atau justru karena faktor hubungan keluarga? Jika ia terpilih, bukan tidak mungkin publik akan menilai bahwa jabatan Sekda telah menjadi alat bagi dinasti politik di Sarolangun.
Politik di Balik Pemilihan Sekda: Netralitas atau Transaksi?
Dalam dinamika politik daerah, pengisian jabatan Sekda sering kali tidak lepas dari negosiasi dan kepentingan elite. Ada dua skenario yang mungkin terjadi:
1. Pemilihan Berdasarkan Meritokrasi
Jika mekanisme pemilihan Sekda benar-benar mengutamakan kompetensi, maka calon yang terpilih harus memiliki rekam jejak kepemimpinan yang jelas, kapasitas manajerial yang kuat, dan rekam integritas yang baik. Sayangnya, skenario ini sering kali hanya menjadi ilusi di banyak daerah.
2. Pemilihan Berdasarkan Koneksi Politik
Sekda bukan hanya sekadar jabatan birokrat, tetapi juga memiliki nilai strategis dalam dinamika politik daerah. Dengan Pilkada Sarolangun yang semakin dekat, bukan tidak mungkin bahwa pemilihan Sekda akan menjadi bagian dari transaksi politik—siapa yang lebih dekat dengan kekuasaan, dialah yang berpeluang lebih besar.
Kesimpulan: Ujian bagi Bupati dan DPRD Sarolangun
Pemilihan Sekda Sarolangun bukan hanya soal siapa yang akan menduduki jabatan tersebut, tetapi juga menjadi cerminan arah pemerintahan ke depan. Jika pemilihan ini hanya menjadi ajang kompromi politik, maka birokrasi Sarolangun tidak akan bergerak maju. Namun, jika benar-benar memilih berdasarkan kapasitas dan integritas, maka ini bisa menjadi momentum perbaikan tata kelola pemerintahan daerah.
Pertanyaannya sekarang: Akankah proses ini berjalan transparan, atau justru menjadi panggung sandiwara elite? (*)