TERASMEDIAJAMBI.COM, JAMBI – Rapat koordinasi tertutup antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jambi, yang turut menghadirkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Wilayah Jambi, meninggalkan jejak pertanyaan tajam di ruang publik.
Langkah ini bukan sekadar prosedur administratif ia memunculkan aroma kuat bahwa ada sesuatu yang sedang disembunyikan di balik meja koordinasi.
Kehadiran ATR/BPN dalam forum yang lazimnya membahas pencegahan korupsi daerah bukan hal biasa dan bukan tanpa alasan.
Ketika lembaga pertanahan dilibatkan, hampir selalu ada satu motif mendasar: tanah dan aset publik bermasalah.
Dan di Jambi, isu ini bukan hal baru. Ia sudah lama menjadi luka terbuka yang belum sembuh luka yang kini mulai bernanah karena kepentingan politik, kekuasaan, dan korporasi.
Politik Aset dan Jejak Yayasan
Dalam beberapa bulan terakhir, publik disuguhi kabar tentang tanah proyek Stadion Swarnabumi yang berdiri di atas lahan hibah dari Pemkab Batanghari kepada Yayasan Pendidikan Jambi (YPJ).
Namun belakangan, muncul Yayasan Pendidkan Jambi Bersatu (YPJB) entitas baru yang diduga disebut-sebut dibentuk oleh Gubernur Jambi sendiri.
Yayasan baru ini diduga menjadi “kendaraan hukum” untuk mengambil alih aset lama dan mengamankan proyek strategis daerah bernilai ratusan miliar rupiah.
Langkah itu menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah pemerintah daerah sedang menata aset publik, atau justru memindahkan kendali aset ke tangan yang lebih politis?
KPK tentu memahami bahwa alih fungsi lahan hibah tanpa dasar hukum bisa masuk dalam kategori penyalahgunaan wewenang dan korupsi aset.
Maka kehadiran ATR/BPN dalam rapat koordinasi ini kemungkinan bukan kebetulan, tetapi bagian dari upaya menelusuri status hukum lahan-lahan strategis yang kini dikuasai oleh entitas nonpemerintah berafiliasi kekuasaan.
Namun yang membuat publik gusar adalah sikap diam semua pihak. KPK tak berbicara. Pemprov Jambi bungkam. ATR/BPN pun enggan menjelaskan apa yang sebenarnya dibahas.
Keheningan inilah yang justru menegaskan: ada sesuatu yang besar di balik pertemuan itu.
Lahan Perkebunan: Luka yang Disembunyikan
Masalah tanah di Jambi tidak berhenti pada stadion dan yayasan.
Di balik hutan dan kebun, tersimpan persoalan yang jauh lebih besar: perampasan lahan perkebunan.
Dalam satu dekade terakhir, ratusan ribu hektare tanah rakyat di Jambi beralih menjadi kebun sawit dan karet milik korporasi besar banyak di antaranya diduga berkolaborasi dengan oknum pejabat daerah dan aparat birokrasi.
Data berbagai organisasi masyarakat sipil menunjukkan bahwa lebih dari 60 persen konflik agraria di Jambi melibatkan perusahaan perkebunan yang mengantongi izin bermasalah atau tumpang tindih dengan wilayah kelola masyarakat adat dan petani lokal.
Ironisnya, ketika rakyat memperjuangkan tanahnya, justru mereka yang dikriminalisasi.
Puluhan warga Tebo, Sarolangun, dan Muaro Jambi harus berhadapan dengan aparat karena dituduh “menyerobot lahan perusahaan” padahal mereka menempati tanah yang telah digarap turun-temurun.
Jika KPK benar-benar mengundang ATR/BPN untuk membahas persoalan aset dan lahan, maka forum itu seharusnya menyentuh akar konflik agraria ini.
Namun, dengan dilakukannya rapat secara tertutup tanpa satu pun hasil yang diumumkan, publik punya alasan untuk curiga:
Apakah KPK sedang menertibkan mafia tanah, atau justru sedang berdamai dengannya?
Koordinasi yang Berubah Jadi Kompromi
KPK sering menggunakan istilah “pencegahan korupsi terintegrasi” sebagai pendekatan awal sebelum masuk ke penindakan.
Namun di Jambi, istilah itu kini terasa hambar.
Karena pencegahan tanpa transparansi hanya akan menjadi kamuflase untuk kompromi.
Tidak ada satu pun publikasi resmi tentang hasil rapat. Tidak ada tindak lanjut, tidak ada komitmen terbuka, tidak ada daftar aset atau lahan yang diselidiki.
Hanya diam dan diam dalam konteks politik lokal adalah bahasa kekuasaan yang paling berbahaya.
Pemprov Jambi juga tidak bisa bersembunyi di balik jargon “koordinasi antar lembaga.”
Sebab ketika aset publik dipertaruhkan, ketika tanah rakyat dirampas, dan ketika yayasan baru muncul menggantikan lembaga lama, diam bukan lagi pilihan administratif ia adalah sikap politis.
Editorial: Tanah Bukan Milik Kekuasaan
Tanah adalah sumber hidup rakyat, bukan alat transaksi kekuasaan.
Dan ketika tanah publik berubah menjadi alat politik dan keuntungan pribadi, maka negara sedang kehilangan moralnya.
KPK dan ATR/BPN punya tanggung jawab besar.
Bukan hanya menertibkan aset di atas kertas, tetapi mengembalikan tanah kepada fungsi publiknya.
Publik berhak tahu: berapa banyak aset Pemprov yang bermasalah, berapa hektare tanah yang berpindah ke tangan swasta, dan siapa yang bermain di baliknya.
Selama informasi itu disembunyikan, misteri rapat koordinasi ini akan terus hidup sebagai simbol lemahnya integritas lembaga negara.
Dan setiap hari yang berlalu tanpa kejelasan adalah bukti bahwa negara lebih takut pada kekuasaan daripada pada kebenaran.
Penutup: Misteri yang Menuntut Keberanian
Undangan ATR/BPN dalam rapat KPK dan Pemprov Jambi adalah cermin dari politik aset dan perebutan tanah yang kian vulgar.
Di satu sisi, rakyat menunggu keadilan agraria.
Di sisi lain, elit politik dan korporasi menata ulang peta kekuasaan lewat kepemilikan lahan.
Selama KPK memilih diam dan Pemprov menutup diri, publik akan terus bertanya:
Apakah koordinasi ini langkah awal penertiban, atau justru pertemuan untuk menegosiasikan dosa bersama?
Dan selama itu pula, Jambi akan terus hidup dalam paradoks: tanah yang subur, tapi keadilan yang tandus.
OLEH : ARMANDO ( Kepala departemen sosial politik Himapolindo )








