TERASMEDIAJAMBI.COM, JAMBI – Di tengah perdebatan terkait penegakan hukum di Provinsi Jambi, publik tiba-tiba disuguhi sebuah narasi yang dikemas lengkap dengan kutipan pasal, jargon akademis, serta glorifikasi tokoh penegak hukum. Narasi itu seolah hendak meyakinkan bahwa aktivitas PT MMJ atau perusahaan yang memakai aset sitaan PT PAL untuk kepentingan bisnis adalah sah, bahkan dianggap “praktik legal” dalam hukum acara. Dalih utamanya yakni Pasal 45 KUHAP.
Namun di balik kalimat retoris yang disusun dalam argumen itu, terdapat masalah mendasar, penafsiran pasal tersebut keliru secara substansial, menyesatkan secara akademis, dan berbahaya bagi integritas penegakan hukum.
*Pasal 45 KUHAP Bukan Alat Pembenar Operasional PT MMJ yang Menggunakan Aset Sitaan Kejati Jambi*
Anehnya, pasal yang terus dikutip sebagai legitimasi justru tidak berkaitan dengan apa yang hendak dibenarkan. Pasal 45 KUHAP merumuskan tindakan terhadap barang sitaan yang mudah rusak, membahayakan, atau biaya penyimpanannya tinggi. Pilihannya hanya dua: diamankan atau dilelang.
Tidak ada satu kata pun dalam pasal itu yang mengizinkan sebuah perusahaan yang memiliki manajemen, arus keuangan, transaksi harian, dan risiko perubahan bukti untuk tetap beroperasi setelah disita penyidik dari Kejati Jambi.
Lebih ironis lagi, pasal 45 KUHAP ini bukan bicara tentang “pemanfaatan bisnis”, melainkan tentang mitigasi risiko kerusakan barang. Menyamakannya dengan operasional perusahaan adalah bentuk penarikan tafsir yang dipaksakan.
Di titik inilah propaganda sesat mulai bekerja. Membaca pasal sebagian, lalu menyimpulkannya seakan-akan bersifat universal.
Kesalahan paling fatal lagi dalam narasi sesat tersebut adalah menganggap PT PAL dan PT MMJ sebagai “benda” yang tunduk pada mekanisme Pasal 45. Korporasi adalah entitas hukum, bukan barang mati. Ia menciptakan transaksi, mengelola karyawan, menandatangani kontrak, dan terus bergerak, justru karena itu ia relevan dalam dugaan tindak pidana.
Izinkan PT MMJ berjalan saat menjadi objek penyidikan dan pengguna sitaan negara sama saja membuka kemungkinan perubahan dokumen dan data, manipulasi transaksi, pergeseran aset, bahkan hilangnya jejak keuangan yang menjadi bukti utama.
Dalam perkara keuangan dan tipikor, membiarkan korporasi tetap beroperasi menggunakan aset sitaan dan dalam nama lain yang sengaja diubah sangat bertentangan dengan prinsip dasar penyitaan yang mengunci dan membekukan bukti, bukan membiarkan bukti hidup dan bergerak bebas.
*Preseden Berbeda yang Dipaksakan dan Cacat Nalar*
Untuk memperkuat pembenaran, narasi tersebut berkali-kali mengutip kasus penyitaan RS Reysa oleh KPK yang dipinjam pakaikan kepada Pemkab Indramayu.
Namun perbandingan itu sangat lemah, karena RS Reysa digunakan dalam keadaan darurat pandemi Covid-19, bukan untuk tujuan bisnis. Fungsi utamanya adalah pelayanan publik, bukan aktivitas komersial. Pengelolaan dilakukan oleh pemerintah daerah, bukan oleh pihak terkait perkara.
Menggunakan preseden darurat sebagai pembenar praktik komersial PT PAL dan PT MMJ adalah analogi sesat yang tidak layak dipakai dalam analisis akademis, apalagi untuk membentuk opini publik.
Penyitaan dalam perkara ekonomi dan korupsi bukan sekadar mengalihkan penguasaan fisik barang. Itu adalah tindakan hukum untuk menghentikan pergerakan bukti.
Membiarkan perusahaan tetap berjalan berarti membiarkan bukti dapat berubah bentuk, struktur pengendalian internal tidak lagi steril, penelusuran aliran dana dapat terputus, dan integritas pembuktian menjadi rapuh.
Semua ahli forensik keuangan tahu bahwa arus kas yang bergerak adalah arus kas yang sulit diverifikasi. Mengizinkan aktivitas perusahaan menggunakan aset sitaan bukan memperkuat pembuktian, melainkan membuka celah pengaburan bukti, baik sengaja maupun tidak.
Jika penyidikan dilakukan di atas bukti yang terus berubah, siapa yang menjamin bahwa hasilnya objektif?
*Ketika Reputasi Dianggap Lebih Penting dari Norma*
Salah satu pola propaganda dalam sebuah narasi yang tersebar adalah glorifikasi pejabat penegak hukum. Narasi-narasi panjang dipenuhi pujian terhadap keahlian perbankan, pengalaman menangani perkara besar, hingga reputasi teknokratis yang dianggap “tak mungkin salah”.
Padahal dalam hukum, yang diuji bukan reputasi, melainkan tindakan. Bahkan hakim agung dapat dibatalkan putusannya di PK jika terbukti keliru. Maka pejabat sehebat apa pun tetap wajib tunduk pada norma. Ketika reputasi dipakai sebagai tameng untuk menormalisasi tafsir sesat, saat itulah publik harus waspada: ada kecenderungan appeal to authority yang merusak integritas diskursus hukum.
*Negara dalam Negara di Provinsi Jambi?*
Pertanyaan paling penting bukan pada apa yang dikutip, tetapi apa yang ditutupi.
Mengapa Pasal 45 dijadikan kambing hitam padahal jelas tidak relevan? Mengapa perusahaan besar dibiarkan beroperasi meski menjadi objek penyidikan? Mengapa publik diminta percaya pada glorifikasi personal ketimbang norma tertulis? Dan mengapa tafsir hukum terasa berada di tangan sekelompok kecil oknum, bukan pada teks KUHAP yang mengikat semua pihak?
Ketika hukum mulai ditafsirkan bukan berdasarkan pasalnya, tetapi berdasarkan siapa yang menafsirkan, maka kita sedang melihat gejala “negara dalam negara”, sebuah struktur informal yang bisa mengubah makna hukum demi kepentingan tertentu.
Penyitaan adalah tindakan untuk menghentikan pergerakan, bukan menghidupkan kembali bisnis.
Pasal 45 KUHAP tidak pernah mengizinkan operasionalisasi perusahaan sitaan. Preseden yang diambil tidak relevan. Dan glorifikasi pejabat tidak mengubah fakta hukum.






