Oleh : Habib Hidayat Putra
Di balik wacana reformasi pendidikan tinggi yang kerap didengungkan pemerintah, tengah berlangsung tragedi sunyi yang mengancam sendi dasar demokrasi akademik: negara mulai ikut bermain di dalam kampus, bukan sebagai pelindung, tetapi sebagai aktor utama dalam perebutan kekuasaan.
Kasus yang menimpa Yayasan Pendidikan Jambi (YPJ), pendiri sah Universitas Batanghari (Unbari) di Jambi, adalah alarm keras bagi semua kampus swasta di Indonesia. Sejak 2022, YPJ yang memegang akta pendirian, aset sah, dan legitimasi hukum atas Unbari disingkirkan dari institusinya sendiri. Kantor yayasan ditutup sepihak, akses diblokir, aset diduduki tanpa proses hukum, dan puncaknya: Rektor ditunjuk oleh Dirjen Dikti tanpa melibatkan YPJ, yang sah secara hukum.
Pendirian Yayasan Pendidikan Jambi Bersatu (YPJB) oleh Gubernur Jambi, Al Haris, memunculkan polemik baru di tengah penyelesaian sengketa pengelolaan Universitas Batanghari (UNBARI). Yayasan tersebut dinilai memiliki fungsi serupa dengan Yayasan Pendidikan Jambi (YPJ), lembaga yang sejak 1977 menjadi penyelenggara resmi UNBARI.
Informasi yang beredar menyebutkan bahwa YPJB dibentuk dengan melibatkan sejumlah pejabat Pemerintah Provinsi Jambi. Langkah ini diklaim sebagai upaya penataan ulang lembaga penyelenggara pendidikan. Namun, sejumlah pihak menilai pendirian YPJB berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, terutama terkait aset lahan pembangunan Stadion Swarnabhumi di Kabupaten Muaro Jambi.
Ironisnya, negara justru mendukung kepemimpinan baru yang tidak berasal dari yayasan pendiri. Ini melanggar UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi serta UU Yayasan, yang menegaskan bahwa perguruan tinggi swasta berada di bawah kewenangan yayasan. Seluruh jalur hukum telah ditempuh YPJ perdata, administratif, hingga pengaduan ke Ombudsman RI dan Mahkamah Agung. Hasilnya? YPJ dimenangkan, tapi hukum seperti mandul saat berhadapan dengan kekuasaan. Negara bungkam.
YPJ, pendiri sah Universitas Batanghari, kini justru diperlakukan bak penumpang gelap di rumahnya sendiri. Akses dibatasi, suara diabaikan, dan otoritasnya disabotase melalui struktur yang disahkan birokrasi. Ini bukan sekadar kekeliruan administratif, tetapi bentuk nyata perampasan hak legal atas lembaga yang didirikan secara sah.
Sayangnya, ini bukan kasus tunggal. Di banyak daerah, pola serupa muncul: konflik internal kampus swasta disusupi intervensi negara, dan berakhir dengan didepaknya yayasan sah.
Universitas Trisakti, salah satu kampus ternama nasional, terjebak konflik dualisme yayasan pasca reformasi 1998. Alih-alih menyelesaikan, pemerintah justru memperkuat badan hukum baru, menafikan pendiri awal. Dua dekade kemudian, Trisakti belum benar-benar pulih.
Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Surabaya menghadapi konflik serupa. Intervensi dalam urusan yayasan memperkeruh suasana, membuat kampus kehilangan stabilitas kelembagaan dan sempat terancam dualisme akreditasi.
Universitas Bandar Lampung (UBL) juga mengalami konflik struktural yang melibatkan intervensi administratif. Ketika sengketa belum selesai, justru muncul pengakuan baru dari otoritas negara terhadap kepengurusan berbeda, yang memperuncing ketegangan.
Universitas Darul Ulum Jombang bahkan nyaris kehilangan entitas hukumnya akibat tarik-menarik kepentingan antara yayasan dan pemerintah daerah. Upaya mediasi negara bukannya mendinginkan, justru mengaburkan batas otoritas kelembagaan.
Terbaru, Universitas Pancasakti Makassar pada 2020–2022 mengalami konflik internal yang berujung pada pengambilalihan sepihak oleh struktur baru yang direstui pemerintah, walau yayasan lama masih memegang putusan pengadilan yang sah.
Polanya sama: Negara masuk terlalu jauh, membentuk otoritas baru, dan menyingkirkan yayasan sah dengan legitimasi administratif. Hasilnya: ketidakpastian hukum, trauma kelembagaan, dan runtuhnya otonomi akademik.
Pertanyaannya: Apakah ini kebetulan? Atau gejala sistemik yang belum diakui?
Jika hari ini negara bisa mengambil alih kampus swasta hanya karena konflik internal, lalu menunjuk pengelola baru tanpa dasar legal dari yayasan pendiri, maka tamatlah otonomi pendidikan tinggi swasta di Indonesia. Kampus bukan lagi ruang bebas berpikir, tapi arena kuasa. Yayasan yang puluhan tahun membangun pendidikan bisa dengan mudah disingkirkan oleh surat keputusan dan birokrasi.
Lebih jauh, ini adalah kemunduran demokrasi akademik. Negara bukan lagi wasit yang netral, tetapi pemain yang berpihak. Ketika regulasi dijadikan tameng kekuasaan, dan putusan pengadilan tak lagi dihormati, maka pendidikan kita sedang berjalan mundur. Ilmu kehilangan martabatnya, dan kampus kehilangan kemerdekaannya.
Ini bukan isu lokal. Ini peringatan nasional. Ketika pengelolaan kampus swasta dapat diambil alih oleh negara dengan legitimasi semu, maka batas antara pendidikan dan kekuasaan telah terhapus.
Hari ini Unbari dirampas. Besok bisa Trisakti lagi. Lusa, mungkin kampus Anda. Ketika negara bisa merebut kampus dari tangan pendirinya sendiri, kita sedang menyaksikan bentuk baru kolonialisme dalam pendidikan: kolonialisme birokratik. Dan jika kita diam, kita sedang menyetujui bahwa ilmu pun bisa dibeli dengan kuasa.









