TERASMEDIAJAMBI.COM, JAMBI – Rencana pembangunan terminal batubara PT. SAS di kawasan Aur Kenali, Kota Jambi, menyingkap kelemahan serius dalam sistem perizinan dan tata kelola ruang di Indonesia. Persoalan ini tidak hanya menyangkut aspek legalitas izin, tetapi juga menyentuh dimensi sosial, lingkungan, dan tata kelola pemerintahan yang bersih.
Berdasarkan data yang beredar, lahan ±47,6 hektare yang diajukan PT. SAS justru masuk ke dalam peruntukan ruang yang jelas tidak sejalan dengan fungsi terminal batubara: kawasan lindung 30 persen, perumahan 56 persen, ketahanan pangan 9 persen, dan perdagangan-jasa 5 persen. Fakta ini bertentangan dengan Pasal 37 ayat (4) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang mewajibkan setiap pemanfaatan ruang harus sesuai dengan RTRW. Jika izin tetap dibiarkan, maka secara hukum izin tersebut berpotensi cacat. Lebih jauh, hal ini juga mengingkari semangat Undang-Undang Cipta Kerja yang meskipun memberikan kemudahan investasi, tetap menggariskan prinsip kepatuhan terhadap tata ruang dan kelestarian lingkungan.
Sistem OSS-RBA (Online Single Submission – Risk Based Approach) memang dirancang untuk memangkas birokrasi. Namun Pasal 17 PP Nomor 21 Tahun 2021 memberi ruang bagi daerah yang belum memiliki RDTR untuk melakukan persetujuan KKPR melalui kajian teknis manual. Celah inilah yang rawan disalahgunakan. Pertanyaan publik sangat relevan: apakah dokumen PT. SAS benar diverifikasi secara substansial, ataukah hanya sebatas formalitas administratif? Di sinilah potensi maladministrasi mencuat. Bila terbukti ada manipulasi atau kelalaian, maka kasus ini dapat dikategorikan bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan tindak pidana yang merugikan kepentingan publik.
Penolakan warga sekitar yang disertai surat resmi Pemko Jambi kepada Gubernur menjadi bukti nyata resistensi lokal. Aktivitas land clearing dan penimbunan material yang sudah berlangsung memperkuat dugaan pelanggaran tata ruang dan aturan lingkungan. Terminal batubara, selain berpotensi menimbulkan polusi udara dan kebisingan, juga akan menekan kualitas lingkungan hidup kawasan pemukiman yang semestinya dilindungi. Apabila proses pembangunan tetap dilanjutkan, konflik sosial sulit dihindari. Masyarakat yang merasa ruang hidupnya terancam bisa mengambil langkah hukum, bahkan melakukan perlawanan sosial yang dapat merugikan iklim investasi secara keseluruhan.
Jika benar KKPR dikeluarkan tanpa dasar tata ruang yang sah, maka unsur maladministrasi jelas ada. Hal ini sesuai dengan definisi maladministrasi dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman. Lebih jauh, jika terbukti ada rekayasa dokumen, kasus ini bisa mengarah pada dugaan korupsi perizinan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pertama, tanggung jawab utama berada di pemerintah pusat. Kementerian Investasi/BKPM sebagai penerbit KKPR melalui OSS, dan Kementerian ATR/BPN sebagai otoritas tata ruang, wajib melakukan audit izin. Berdasarkan Pasal 22 PP 21/2021, ATR/BPN berwenang membatalkan KKPR yang menyimpang. Kedua, pemerintah provinsi memiliki peran krusial. Pasal 14 dan Pasal 15 ayat (2) UU Penataan Ruang menyebut gubernur memiliki kewenangan koordinasi lintas wilayah dan bahkan kewenangan membatalkan izin yang bertentangan dengan RTRW provinsi maupun RTRW kabupaten/kota. Gubernur Jambi tidak bisa hanya menjadi penonton. Ketiga, pemerintah kota juga tidak boleh lepas tangan. Walikota sebagai pemegang otoritas tata ruang kota wajib mengawasi, menertibkan, dan melaporkan pelanggaran kepada kementerian terkait. Diamnya Pemkot bisa dianggap kelalaian serius dan berpotensi menyeret mereka ke dalam persoalan hukum tata ruang.
Pemkot Jambi harus segera menghentikan sementara aktivitas PT. SAS melalui moratorium, melanjutkan laporan resmi ke ATR/BPN dan BKPM, serta melibatkan masyarakat dan pakar independen dalam verifikasi. Pemprov Jambi wajib membentuk tim investigasi terpadu dengan melibatkan ATR/BPN, aparat penegak hukum, dan unsur masyarakat sipil. Jika terbukti menyimpang, Gubernur memiliki kewenangan penuh untuk merekomendasikan bahkan membatalkan izin. Pemerintah pusat melalui BKPM dan ATR/BPN harus melakukan audit legalitas KKPR. Jika ditemukan data palsu atau pelanggaran RTRW, izin harus dibatalkan, bukan sekadar dicabut. Tak kalah penting, jika ada indikasi pemalsuan dokumen, pengabaian RTRW, atau perusakan lingkungan, kasus ini harus dilimpahkan kepada kepolisian, PPNS, atau kejaksaan.
Kasus PT. SAS harus menjadi momentum reformasi tata kelola perizinan. Pemerintah wajib membuka data RTRW dan RDTR secara online agar masyarakat bisa ikut mengawasi. Sistem OSS perlu dilengkapi dengan fitur penguncian pada wilayah abu-abu tata ruang sehingga izin tidak bisa otomatis keluar. Proyek berdampak besar seperti terminal batubara juga wajib melewati mekanisme konsultasi publik, bukan sekadar prosedur administratif. Di saat yang sama, LSM dan akademisi perlu dilibatkan sebagai pengawas sipil untuk menjamin akuntabilitas proses.
Kasus terminal batubara PT. SAS bukan sekadar masalah perizinan investasi, tetapi ujian bagi negara dalam menegakkan supremasi hukum tata ruang. Gubernur Jambi memiliki kewenangan hukum untuk membatalkan izin yang menyimpang, BKPM dan ATR/BPN berkewajiban melakukan audit dan evaluasi, sementara Pemkot Jambi harus menjaga integritas RTRW kotanya. Jika semua pihak lalai, maka yang dikorbankan adalah masyarakat, lingkungan, dan masa depan tata ruang Jambi.
Daftar Pustaka
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang.
Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 13 Tahun 2021 tentang Rencana Detail Tata Ruang.
Peraturan Menteri Investasi/BKPM Nomor 5 Tahun 2021 tentang Pedoman dan Tata Cara Pengawasan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
Kusumastuti, A., & Santosa, M.A. (2022). Maladministrasi dalam Perizinan Berusaha Berbasis Risiko: Kritik terhadap OSS-RBA. Jurnal Hukum & Pembangunan, 52(3), 421–439.
Rahardian, F., & Hadi, S. (2021). Tata Ruang dan Sengketa Investasi di Daerah: Studi Implementasi UU Cipta Kerja. Jurnal Ilmu Administrasi Negara, 18(2), 115–132.
Oleh: Dr. Noviardi Ferzi