TERASMEDIAJAMBI.COM, JAMBI – COP30 (Conference of the Parties ke-30) adalah konferensi iklim tahunan di bawah UNFCCC yang pada 2025 digelar di Brazil jantung Amazon. Forum ini diklaim menjadi ruang evaluasi komitmen negara-negara terhadap Paris Agreement, termasuk pendanaan iklim dan mekanisme pasar karbon global. Brazil bahkan memposisikannya sebagai panggung untuk menegaskan peran hutan tropis dunia dalam menjaga stabilitas iklim.
Namun, forum COP30 di Brazil seolah jadi ajang seremonial semata. Isu penyelamatan iklim hanya jadi panggung diplomasi dan jualan proyek hijau. Di balik slogan besar tentang hutan tropis dan ekonomi hijau, justru terselip transaksi kepentingan antara negara, korporasi, dan elit global.
Indonesia pun ikut dalam arus itu. Pemerintah datang ke COP30 dengan target transaksi karbon senilai Rp 16 triliun sekitar 90 juta ton CO₂ ekuivalen yang dijual lewat sektor hutan, laut, energi, dan industri (data: Antara News, 2025). Tapi pertanyaannya, apakah kita benar membawa agenda penyelamatan iklim? Atau justru sedang menjual hutan dan udara bersih kita ke pasar global?
Regulasi baru seperti Perpres No. 110 Tahun 2025 tentang Nilai Ekonomi Karbon dipromosikan sebagai langkah maju, tapi tanpa transparansi dan partisipasi publik. Lembaga lingkungan seperti WALHI menilai dokumen dan mekanisme yang dibawa Indonesia ke COP30 tidak terbuka, bahkan terkesan menyembunyikan skema-skema ekstraktif di balik label “konservasi” dan “pasar karbon”.
Realitanya, hutan kita masih terus ditebang. Meski pemerintah mengklaim deforestasi menurun sekitar 8,4% (2021–2022), laporan global justru menunjukkan laju kerusakan hutan di Indonesia kembali meningkat di tahun-tahun berikutnya (The Guardian, 2024).
Ini menegaskan satu hal kebijakan iklim kita masih kontradiktif satu tangan bicara penyelamatan bumi, tangan lain tetap menandatangani izin tambang dan pembukaan lahan.
Jadi wajar jika muncul kecurigaan bahwa partisipasi Indonesia di COP30 bukan soal kepentingan iklim rakyat, tapi transaksi politik dan ekonomi dengan cukong-cukong internasional.
Dokumen tertutup dan minimnya partisipasi publik hanya memperkuat dugaan bahwa ada kepentingan tersembunyi di balik meja perundingan.






