TERASMEDIAJAMBI.COM, JAMBI —Sebuah dokumen berisi daftar dugaan kecurangan yang dilakukan secara sistematis oleh Pinto Jaya Negara, Wakil Ketua DPRD Provinsi Jambi periode 2019–2024, beredar dan memicu kehebohan. Dokumen tersebut dirilis oleh mantan staf yang pernah bekerja langsung di lingkungan Wakil Ketua DPRD, dan memuat sembilan pola dugaan penyimpangan anggaran yang dinilai terstruktur, rapi, dan berulang.
Laporan eksklusif ini mencoba mengurai setiap dugaan praktik yang disebutkan, berikut pola kerja, cara operasional, dan potensi kerugian negara yang ditimbulkan.
1. Dugaan Pemalsuan Struk BBM ,Skema Penggelembungan Perjalanan Dinas
Berdasarkan dokumen, ada pola rekayasa struk BBM untuk kepentingan SPPD. Beberapa indikator ketidakwajaran mencakup:
* Nama operator SPBU tidak cocok dengan identitas asli,
* Nomor pompa tidak sesuai format SPBU,
* Alamat SPBU tidak valid,
* Jenis mesin cetak struk berbeda dengan struk resmi Pertamina.
Modus ini diduga digunakan untuk menyusun laporan perjalanan dinas yang tidak dilakukan atau tidak sesuai jarak tempuh sebenarnya.
2. Kwitansi & Nota Kosong , Jaringan “Pabrik Dokumen” Internal
Mantan staf membeberkan adanya pembuatan nota dan kwitansi palsu di lingkungan kerja Wakil Ketua DPRD. Temuan yang disebutkan:
* Nota pembelian tenda dan sound system sebanyak 16 lembar senilai Rp1 juta dinilai tidak wajar dan tidak masuk akal.
* Nota rumah makan dibuat sendiri, bukan dari restoran.
* Kwitansi uang transport dan snack reses ditandatangani kepala desa, namun disebut sebagai kwitansi kosong bermaterai.
Dokumen-dokumen ini kemudian digunakan sebagai alat pertanggungjawaban agar pencairan dana tidak mencurigakan.
3. Penggunaan Stempel Palsu — Sistem Pemalsuan Administrasi
Dugaan berikutnya adalah produksi stempel palsu untuk:
* Keperluan SPPD perjalanan dinas,
* Keperluan laporan konsumsi dan reses.
Stempel dibuat tanpa izin dan digunakan untuk melengkapi dokumen SPJ yang seolah-olah resmi.
4. Bill Hotel Dibeli, Perjalanan Tidak Pernah Dilakukan
Dalam laporan, mantan staf menyebutkan pola pembelian bill hotel yang sudah dicetak untuk digunakan sebagai bukti perjalanan dinas. Tiga hotel disebut:
* Hotel Prima, Sumatera Barat
* Hotel Rio, Sumatera Selatan
* Swissbell Epicentrum, Jakarta
Bill tersebut digabungkan dalam laporan SPPD meski perjalanan tidak dilaksanakan.
5. Gaji Cleaning Service Diduga “Dipotong”
Gaji petugas kebersihan Rumah Dinas Waka II disebut tidak pernah diberikan secara penuh.
Menurut dokumen, setiap bulan:
* Gaji petugas diambil oleh staf keuangan UMI,
* Kemudian diserahkan kepada Waka II,
* Sementara petugas kebersihan tidak menerima haknya.
Skema ini berlangsung rutin setiap bulan.
6. Uang Perjalanan Dinas Staf Tidak Pernah Sampai
Uang perjalanan dinas untuk staf DPRD disebut sudah dicairkan PPTK dan dikelola staf keuangan. Namun, menurut laporan, uang tersebut tidak pernah sampai kepada staf yang menjalankan tugas dinas.
Modusnya:
* Uang dicairkan atas nama staf,
* Namun dikumpulkan oleh staf keuangan,
* Dan diserahkan kepada pihak tertentu.
7. Anggaran Belanja Bulanan Rp48 Juta, Realisasi Diduga Hanya Rp2 Juta
Salah satu dugaan paling serius adalah penyimpangan anggaran belanja bulanan Waka II.
Menurut dokumen:
* Anggaran bulanan mencapai Rp48 juta,
* Namun pengeluaran nyata disebut hanya sekitar Rp2 juta,
* Laporan SPJ kemudian ditutupi dengan foto belanja palsu, bukan bukti belanja sebenarnya.
8. Pemaksaan Tanda Tangan dengan Ancaman
Aduan menyebut staf honorer sering dipaksa menandatangani berbagai kwitansi, di antaranya:
* Kwitansi perjalanan dinas,
* Kwitansi taksi,
* Kwitansi pencairan dana reses.
Namun uangnya tidak diberikan. Jika menolak, staf disebut diancam akan dipecat atau didenda Rp200.000.
9. Pemalsuan Absen Reses , Manipulasi Jumlah Peserta
Dalam kegiatan reses, mantan staf menyebut absensi peserta dibuat dan diisi sendiri.
* Jumlah hadir dilaporkan mencapai 250 orang,
* Faktanya hanya sekitar 30 orang per desa.
Selisih besar ini dinilai sebagai bentuk rekayasa untuk menaikkan laporan biaya konsumsi, transport, dan honor peserta reses.
Dari sembilan kategori dugaan penyimpangan tersebut, tampak pola yang konsisten:
* Pemalsuan dokumen,
* Pemaksaan tanda tangan,
* Penggunaan nota fiktif,
* Penggelembungan peserta kegiatan,
* Manipulasi SPJ perjalanan dinas.
Dokumen ini menambah tekanan terhadap aparat penegak hukum untuk membuka kembali sejumlah laporan yang diduga mandek, terutama terkait pengelolaan anggaran di lingkungan DPRD Provinsi Jambi.
Tanggapan BADKO HMI Jambi
Menanggapi bocoran dokumen dan sembilan pola dugaan penyimpangan tersebut, Rian Jekh Nanda, Kabid Politik dan Demokrasi BADKO HMI Jambi, mengeluarkan pernyataan keras. Ia menilai bahwa temuan ini semakin memperjelas adanya dugaan praktik korupsi yang berlangsung sistematis di lingkungan legislatif.
“Ini bukan lagi dugaan pelanggaran biasa. Dari dokumen yang beredar, ada pola yang rapi, terstruktur, dan terencana. HMI menilai aparat penegak hukum tidak boleh lagi menunda atau memberi ruang kompromi. Bila benar terjadi pemalsuan dokumen, penyalahgunaan SPPD, hingga pemotongan hak staf, itu adalah bentuk pengkhianatan terhadap publik,” tegas Rian.
Rian juga menekankan bahwa kasus-kasus SPJ fiktif di DPRD Jambi sudah terlalu lama menyisakan tanda tanya.
“Publik bertanya kenapa kasus-kasus SPJ fiktif yang sudah naik penyidikan justru seolah jalan di tempat? Dengan adanya testimoni mantan staf ini, alasan untuk membuka kembali seluruh berkas perkara semakin kuat,” tutupnya.
Editor : Habib H








