TERASMEDIAJAMBI.COM, JAMBI – Mantan Gubernur Jambi, Zumi Zola, kembali menjadi sorotan publik. Setelah lama tenggelam pasca menjalani hukuman (narapidana) dalam kasus suap ketok palu yang pernah mengguncang DPRD dan Pemerintah Provinsi Jambi, hari ini namanya kembali muncul di ruang sidang. Bedanya, bukan lagi sebagai terdakwa, melainkan sebagai saksi dalam persidangan kasus korupsi ketok palu dengan terdakwa Suliyanti di Pengadilan Tipikor Jambi. (23/09/2025)
Zumi Zola bukanlah sosok biasa. Ia merupakan menantu dari Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), yang saat ini juga menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Pangan. Status politik dan kedekatan keluarganya dengan lingkar kekuasaan nasional membuat kehadirannya di ruang sidang semakin menyedot perhatian publik.
Dalam keterangannya, Zola diminta menjelaskan soal aliran dana dan hubungan sejumlah pihak yang diduga terkait dengan kasus Suliyanti. Jaksa KPK menilai kesaksian Zola penting untuk membuka konstruksi perkara.
Di ruang sidang, Zola mengaku pertama kali mengetahui adanya permintaan uang dari pertemuan dengan almarhum Zoerman Manap, salah satu tokoh politik Jambi. “Awalnya saya ditelpon pak Zoerman saat di Jakarta. Saya tak tahu maksud beliau apa, tapi beliau bilang ini penting sekali. Setelah saya pulang ke Jambi, barulah dijelaskan soal uang ketok palu,” ujar Zola.
Namun keterangannya menjadi lebih tajam ketika ia menyebut jumlah yang diminta dewan. Melalui Asisten Pribadinya, Apif Firmansyah, Zola mendapat kabar bahwa para anggota dewan meminta Rp 200 juta per orang sebagai syarat pengesahan APBD. “Saya kaget. Saya sempat tanya ke Apif, dari mana uang sebanyak itu kita bisa dapatkan? APBD tidak mungkin, uang pribadi saya pun tidak ada. Tapi karena desakan dan dewan tidak mau nego, akhirnya saya iyakan,” ungkapnya.
Menurut Zola, situasi kala itu ibarat buah simalakama. Jika tidak menuruti permintaan uang ketok palu, maka RAPBD tidak akan disahkan. “Kalau APBD tidak disahkan, pembangunan jalan, jembatan, sekolah, hingga infrastruktur pertanian bisa tersendat. Saya merasa tertekan secara politis,” tegasnya.
Editor : Habib Hidayat Putra